Sabtu, 18 April 2009

BALI...

TUGAS ANTROPOLOGI HUKUM
SUKU BALI
NAMA : Humaerak
NIM : 07400275
JURUSAN : Syari’ah
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MENINJAU SUKU BALI
LATAR BELAKANG
Lokasi
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.
Kehidupan Sosial
Pulau Bali sangat terkenal di Indonesia bahkan di seluruh dunia karena keindahan panoramanya dan keunikan budayanya yang membuat setiap pelancong baik domestik maupun mancanegara datang berkunjung. Orang Bali sangat ramah dan masyarakatnya mayoritas beragama Hindu. Pembagian kasta sesuai dengan agama Hindu berlaku di Bali, yaitu Brahmana, Ksatria, Wisnu dan Sudra. Masyarakat Bali kebanyakan menganut Kasta Sudra yang mencapai sekitar 90%. Ada tiga tingkatan hubungan sosial di Bali yaitu: hubungan dengan kelas yang lebih tinggi, dengan kelas setingkat dan dengan kelas yang lebih rendah.
Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
Gotong-Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Gambaran Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat di Pulau Bali Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatan tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Keragaman Nuansa Etnisitas Orang Bali
Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut.
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali Majapahit.
Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa - Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Pulau Bali yang luasnya 5808,8 Km2 dibelah dua oleh suatu pegunungan yang membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak sempit. di sebelah utara., dan dataran yang lebih besar disebelah selatan. Pegunungan tersebut yang sebagian besar masih tertutup oleh hutan rimba, mempunyai arti yang penting dalam pandangan hidup dan kepercayaan penduduk. di wilayah pegunungan itulah terletak Kuil-kuil (pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura Batukaru, dan yang terutama sekali Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung.
Sedangkan arah membujur dari gunung tersebut telah menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang Bali utara dan Orang Bali selatan. Dalam Bahasa Bali, kaja berarti ke gunung, dan kelod berarti ke laut. Untuk orang Bali Utara kaja berarti selatan, sedangkan untuk orang Bali selatan kaja berarti utara. Sebaliknya kelod untuk orang Bali utara berarti utara, dan untuk orang bali selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tapi juga dalam aspek kesenian dan juga sedikit aspek bahasa. Konsep kaja kelod itu nampak juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan bangunan-bangunan rumah kuil dan sebagainya.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekerta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit, ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut "perbendaharaan kata-kata hormat", walaupun tidak sebanyak perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuik puisi maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun puisi yang dibawa ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.
Bahasa Dan Kesenian
Bali dalam kehidupan sehari – hari menggunakan bahasa Bali dan sasak. Bali mempunyai beraneka ragam seni tari, seperthi tari Legong yang berlatar belakang kisah cinta Raja Lasem, dan tari Kecak adalah tari yang mengisahkan tentang bala tentara monyet Hanoman dan Sugriwa. Lagu – lagu daerahnya pun bermacam – macam seperti mejangeran, Macepet Cepetan, Meyong – Meyong, Ngusak Asik, dan lain – lain. Alat musiknya disebut gamelan Bali. Bali juga mempunyai senjata tradisional, yaitu keris (Kedukan), tombak dan golok.
Rumah adatnya pun bermacam – macam seperti Gapura Candi Bentar, Bali Bengong, Balai Wanikan, Kori Agung, Kori Babetelan. Sedangkan pakaian adatnya adalah untuk pria Bali berupa ikat kepala (Destar) kain songket saput, dan sebilah keris terselip dipinggang belakang, kaum wanitanya memakai dua helai kain songket, Stagen Songket (Merpada), selendang / senteng serta hiasan bunga emas dan kamboja (Subang, Kalung, Gelang) diatas kepala.
Mata Pencaharian
Umumnya mata pencaharian masyarakat Bali dibidang kesenia, sperti seni pahat, lukis, kerajinan dan lain – lain. Tetapi tidak semuanya, ada juga yang bergerak di bidang pertanian dan industri, misalnya perusahaan tenun di Denpasar.
Bali mempunyai potensi sumber daya alam dan manusia yang sangat baik, yang paling menonjol adalah objek wisatanya. Objek wisata tersebut dapat dijadikan sumber devisa (alat pembayaran utang luar negeri), dengan cara menarik sebanyak – banyaknya wisatawan mancanegara. Bukan hanya itu saja, Bali juga mempunyai hutan dan gunung yang bisa digali kekayaan alamnya. Tanahnya pun cukup baik dan subur sehingga bisa dijadikan sebagai lahan pertanian maupun lahan perkebunan, bahkan untuk perindustrian
Agama
Penduduk Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Bali bisa tetap melestarikan adat warisan nenek moyang mereka yang telah berusia ribuan tahun adalah karena mereka menganut agama Hindu Dharma, agama yang sebenarnya tidak dapat dikatakan Agama Hindu jika kita mengasosiasikan Hindu itu dengan agama yang dianut oleh penduduk yang tinggal di wilayah Hindustan alias India.
Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu –Bali, akan tetapi, ada pula sebagian kecil masyarakat Bali yang menganut agama Islam, Kristen, dan katholik. Penganut agama Islam terdapat di Karang Asem, Klungkung, dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan katholik terutama terdapat di Denpasar, Jimbaran dan Singaraja.
Tempat beribadah agama Hindu di berupa pura Besakih, Pura Desa (Kayangan Tiga), Subak dan Seka, kumpulan tari atau semacam sanggar tari, serta tempat pemujaan leluhur dari klen – klen besar. Ada juga yang di sebut Sanggah yang merupakan tempat pemujaan leluhur dari klen kecil serta keluarga luas. Sedangkan kitab suci adalah “Weda” yang bersisi tentang Arman, Karmapala, Punarbawa, dan Moksa.Di Bali ada seorang pemimpin agama yang bertugas melaksanakan upacara keagamaan, terutama upaca besar adalah orang yang dilantik menjadi pendeta yang umumnya disebut “Sulingih” tetapi tidak semua pendeta disebut Sulingih, misalnya “Pedanda” untuk pendeta dari kasta Brahmana baik yang beraliran Siwa maupun Budha, atau “Resi” untyuk pendeta dari kalangan Satria.
Soal daya tarik ritual keagamaan dan adat, sebenarnya selain Bali setiap daerah di Indonesia juga memiliki ritual adat dan budaya yang sangat menarik, seperti
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT
Perkawinan
Perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen. Menurut adat lama yang dipengaruhi oleh sistim klen dan kasta, orang – orang seklen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) setingkat kedudukannya dalam adat, agama, dan kasta. Dahulu, jika terjadi perkawinan campuran, wanita akan dinyatakan keluar dari dadia. Secara fisik, suami istri akan dihukum buang (Maselong) untuk beberapa lama ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Sekarang hukuman itu tidak dijalankan lagi. Perkawinan antar kasta sudah relatif banyak dilakukan Struktur Dadia berbeda – beda. Di desa – desa dan pegunungan, orang – orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing – masing tempat kediamannya, di desa – desa tanah datar, orang – orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing – masing tempat kediamannya, tempat pemujaan tersebut disebut Kemulan Taksu. Disamping itu, ada lagi kelompok kerabat yang disebut klen besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah). Mereka memuja kuil yang sama disebut kuil (pura) Pabian atau Panti.
Pasangan suami istri memilih adat uxorilokal karena alasannya. garis keturunan diperhitungkan secara patrilineal. garis keturunan diperhitungkan secara matrilineal. garis keturunan diperhitungkan secara bilateral. hak waris jatuh ketangan anak laki-laki saja. mereka berhak atas dadia klan suami.
Perkawinan yang dianggap mendatangkan bencana bagi masyarakat Bali yaitu perkawinan antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri dalam bahasa Bali disebut bridge exchange, panes, memadik, makadengan ngad, maselong
Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupalan sumbang yang besar (incest) dinamakan makadengan ngad, maselong, memadik, merangkat, agamiageman.
Kelahiran
Bali yang memiliki ritual kelahiran dan kematian, daerah lainpun begitu, Gayo suku saya misalnya.
Seperti Bali yang punya ritual khusus saat pemberian nama Bayi yang dinamakan upacara 'telu bulanan' , kamipun di Gayo memiliki ritual semacam itu, 'Turun Mani' namanya, seperti di Bali, bayi dipercaya lemah dan rawan terserang roh jahat saat baru lahir, karena itu sebelum si Bayi dianggap cukup kuat Bayi dilarang untuk dibawa keluar rumah. Dulu saat saya masih kecil kepercayaan seperti ini masih hidup di Gayo. Ritual 'turun mani' seperti sering disaksikan di kampung Isaq. Bedanya jika di Bali bayi baru boleh keluar rumah saat sudah berumur 105 hari, maka di kampung Isaq cukup 7 hari saja.
Seperti ritual 'telu bulanan' di Bali yang sangat menarik buat disaksikan, ritual 'turun mani' juga menarik. 'Turun Mani' secara harfiah bisa diartikan turun untuk dimandikan, dan dulu, Bayi berumur 7 hari itu dimandikan di sungai.
Sebenarnya dibandingkan menggunakan bahasa Melayu, untuk menyebut kata 'dulu', dalam bahasa Gayo lebih detail dan presisi tidak seperti dalam bahasa Melayu yang kita pakai dalam berkomunikasi ini, dimana makna kata 'dulu' terlalu luas dan kurang bisa diandalkan untuk menjelaskan rentang waktu. Dalam bahasa Gayo kata 'dulu' dibagi tiga :
1. Ini artinya 'dulu' dalam waktu yang tidak terlalu lama, biasanya masih dalam tahun yang sama
2. Tengaha atau Tengahna artinya 'dulu' dalam waktu yang agak lama, beberapa tahun atau puluh tahun yang lalu dan
3. Pudaha atau Pudahna artinya 'dulu' dalam pengertian beberapa generasi yang lalu.'dulu' adalah Tengaha atau kadang juga disebut Tengahna, tergantung selera si pengucap.
Ide 'turun mani' dalam budaya Gayo adalah untuk memperkenalkan realitas dunia nyata kepada bayi yang baru lahir. Dalam acara ritual 'turun mani' ada dua hal yang akan diperkenalkan kepada bayi. Pertama memperkenalkan Bayi pada empat unsur (angin, air, api dan tanah) dan membiasakan bayi terhadap rasa dingin dan suara bising.
'Tengaha' dan juga 'Pudaha', dalam setiap ritual 'turun mani' selalu kaum wanitalah yang berperan penting dalam ritual itu. Biasanya dalam ritual turun mani ada tiga wanita yang berperan penting dalam prosesi ditambah beberapa orang wanita lain yang bertugas memainkan alat musik. Perempuan pertama bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' biasanya adalah keluarga dekat yang sudah agak berumur yang juga tinggal di kampung yang sama dengan si bayi. Wanita kedua bertugas menggendong bayi yang sedang di 'turun mani'kan (iturun manin dalam bahasa Gayo), membuai si Bayi dalam gendongannya sepanjang ritual 'turun mani'. Wanita ketiga bertugas membawa beras yang nantinya akan diberikan kepada wanita yang menggendong bayi, sedangkan wanita-wanita lainnya memainkan alat musik berupa canang yang dipukul bertalu-talu selama prosesi 'turun mani'.
'Tengaha', orang menganggap perjalanan membawa bayi dari rumah menuju ke sungai, berpotensi membahayakan keselamatan si bayi. Karena alasan rawannya keselamatan si bayi itulah sejak 7 hari sebelumnya si bayi selalu ditempatkan di dekat ibunya. Tidak jarang dalam rumah yang memiliki bayi yang baru lahir diletakkan beragam jimat untuk menolak roh jahat, jimat-jimat itu digantungkan di setiap penjuru rumah. Sebab itulah perjalanan menuju ke sungai benar-benar harus dipersiapkan dengan baik, karena dalam perjalan itu bayi masih rawan diserang roh jahat maka dari itu persiapan untuk membawa bayi ke sungai harus benar-benar matang.
Ketika akan berangkat, wanita yang bertugas menggendong bayi akan mengambil sejumput kapas lalu menjepitnya dengan alat pembelah pinang yang kami sebut 'kelati' lalu membakarnya. Menurut apa yang dipercaya orang pada saat itu, 'kelati' yang terbuat dari besi itu memberikan unsur logam yang bersifat keras sehingga bisa menahan gangguan roh jahat. Api yang membakar kapas membuat takut roh jahat yang ingin mendekat. Lalu canang yang dipukul bertalu-talu akan menjauhkan roh jahat dari si bayi. Kemudian sepanjang ritual 'turun mani' banyak sekali dipakai tanaman yang kami sebut 'batang teguh'. Dalam kebudayaan kami tanaman ini dipercaya sebagai tanaman pertama yang tumbuh di planet ini. Penggunaan tanaman ini dalam ritual 'turun mani' dipercaya akan menguatkan si bayi. Karena itulah ketika akan keluar dari rumah di depan pintu wanita pertama yang akan melakukan semua prosesi dan wanita kedua yang menggendong bayi sama-sama menginjakkan kakinya ke atas seikat tanaman batang teguh yang diletakkan di depan pintu rumah si bayi. Lalu wanita yang menggendong bayi akan memegang payung untuk melindungi si bayi dari rumah sampai ke tepi sungai.
Setibanya di sungai, para wanita yang terlibat dalam ritual ini menghamparkan tikar berwarna-warni yang terbuat dari sejenis tanaman rawa yang kami sebut 'kertan' di atas batu. Kemudian wanita pertama yang bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' menaburkan beras empat warna dengan bentuk lingkaran di atas selembar daun pisang. Di bagian tengah lingkaran diletakkan empat buah dari apa yang kami sebut 'selensung' yaitu lembaran daun sirih yang dibentuk menjadi bungkusan kecil berisi buah kemiri dan jeruk nipis. Daun pisang tersebut kemudian diangkat ke atas kepala si bayi, wanita pertama kemudian menyebutkan nama roh penunggu sungai lalu memutar daun pisang berisi beras dan 'selengsung' itu dengan arah berlawanan jarum jam di atas kepala si bayi dan menghitung dari satu sampai tujuh. Prosesi ini gunanya untuk menjauhkan si bayi dari segala penyakit dan nasib buruk yang disebabkan oleh empat unsur yang saya sebutkan sebelumnya, dalam bahasa gayo empat unsur itu kami sebut 'anasir opat'.
Nama-nama roh yang disebutkan wanita pertama yang bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' saat melakukan prosesi ini bisa bermacam-macam, tergantung siapa orangnya yang melakukan ritual itu. Kadang dalam ritual ini si wanita pertama menyebutkan nama-nama roh penjaga sungai. Dalam prosesi 'turun mani' yang lain yang disebut adalah nama empat roh yang mewakili empat unsur (anasir opat), satu di hulu, satu di hilir dan masing-masing satu di setiap tepi sungai. Dalam prosesi yang lain yang disebut dalam prosesi itu adalah nama nabi-nabi yang oleh orang kampung saya masa itu dipercaya merupakan penguasa unsur-unsur alam, mereka adalah Nabiolah Nuh penguasa kayu, Nabiolah Yakub penguasa batu, Nabiolah Yati penguasa air dan Nabiolah Kedemat penguasa tanah.
Kemudian daun pisang berisi beras empat warna dan empat 'selensung' itu dihanyutkan di sungai sambil mengatakan pada roh penjaga sungai "Ini anak kami, jangan ganggu dia atau kami akan menjewer kupingmu".
Setelah prosesi itu selesai barulah sekarang giliran si bayi yang menjadi sasaran ritual. Si Wanita pertama mula-mula beberapa kali melumuri tubuh si bayi dengan tepung, lalu juga beberapa kali menyiramnya dengan air jeruk purut dan kemudian dengan air sungai. Lalu wanita itu akan membelah buah kelapa di atas kepala si bayi maksud ritual ini supaya nantinya si bayi tidak takut mendengar suara petir, lalu membiarkan air kelapa membasahi wajah si bayi, maksud ritual ini supaya nantinya si bayi nantinya tidak takut pada hujan. Kemudian si wanita pertama tadi memegang cermin di depan wajah si bayi, maksudnya untuk menunjukkan kepada si bayi NUR nya sendiri. Di Gayo pada masa itu (dan sekarangpun diantara beberapa orang tua di kampung-kampung) kami percaya bahwa manusia itu berasal dari NUR Allah dan NUR Muhammad. Cermin juga masa itu dipercaya akan memantulkan empat warna yang membentuk tubuh si bayi. Cermin yang diletakkan di depan wajah si bayi juga berguna untuk memberi kesempatan kepada empat unsur (anasir opat) dalam tubuh si bayi untuk melihat seperti apa rupa makhluk baru ini, supaya keempat unsur itu tahu bahwa makhluk baru ini adalah manusia dan karenanya harus dilindungi. 'Pudaha' sebelum ada cermin, dalam prosesi ini bayi dipegang menghadap ke air sungai supaya dia bisa melihat pantulan bayangannya.
Acara 'turun mani' ini diakhiri dengan prosesi si wanita pertama yang bertindak mewakili ibu si bayi memberikan sejumlah beras yang tadinya dibawa oleh wanita ketiga kepada wanita kedua yang selama prosesi 'turun mani' menggendong si bayi, beras yang diberikan ini kadang juga ditambahi dengan gula dan kelapa. Maksud pemberian ini adalah untuk memisahkan si bayi secara spiritual dari si wanita yang menggendongnya sepanjang ritual 'turun mani'. Pemberian ini adalah sebagai kompensasi atas resiko yang ditanggung si wanita penggendong selama prosesi 'turun mani' dan yang paling penting adalah untuk memisahkan si bayi dari resiko serangan roh jahat yang bisa jadi harus dihadapi oleh wanita yang menggendongnya tadi karena telah melindungi si bayi selama ritual 'turun mani' itu.
Begitulah prosesi 'turun mani' di tempat kami yang terjadi 'TENGAHA', berbeda dengan di Bali yang prosesi 'telu bulanan' tetap bisa kita saksikan sekarang bahkan juga sampai nanti. Prosesi 'turun mani', sekarang sudah punah dan tidak dapat lagi kita temui di Tanoh Gayo. Penyebabnya adalah Agama.
Jika di Bali adat adalah unsur yang dominan dalam relasi antara adat dan agama sehingga agama Hindu yang diimpor dari India ketika berhadapan dengan adat Bali, prakteknya dibuat mengikuti adat Bali yang sudah lebih dulu eksis. Sebaliknya dengan di Gayo dalam relasi antara adat dan agama, di daerah kami agamalah yang lebih dominan. Sehingga di Gayo adat hanya bisa dijalankan sejauh jika adat itu tidak bertentangan dengan Islam, agama yang kami anut.
'Tengaha' ritual 'turun mani' bisa ada, karena pada zaman itu transformasi ide-ide agama kepada warga kampung saya belum begitu mudah seperti sekarang. Saat itu buku masih jadi barang langka, televisi belum ada, informasi agama yang sampai ke warga kampung saya pada masa itu banyak bercampur atau diinterpretasikan oleh warga kampung saya dengan cara pandang kepercayaan pra Islam yang sebelumnya dianut oleh nenek moyang kami.
Interpretasi Ide Islam berdasarkan cara pandang kepercayaan lama ini contohnya adalah seperti penyebutan nama-nama nabi penguasa empat unsur dalam prosesi 'turun mani' seperti yang saya ceritakan tadi. Ide tentang nabi penguasa empat unsur itu adalah hasil interpretasi orang Gayo 'Pudaha' atas ide-ide Islam tentang nabi-nabi Allah. Ketika menerima Ide-ide itu nenek moyang kami, orang Gayo 'Pudaha' yang alam pikirannya masih belum sepenuhnya lepas dari kepercayaan lama, lalu 'mengislamkan' ide-ide kepercayaan lama yang mereka anut dengan mengganti nama roh-roh yang dipercaya menguasai alam dengan mengganti namanya dengan nama nabi-nabi Islam. Dalam proses 'pengislaman' ide ini bahkan terkadang nama nabinyapun tidak kita temui dalam literatur Islam yang asli. Contohnya bisa dilihat dari nama-nama nabi penguasa empat unsur yang saya sebutkan di atas, di sana ada nama Nabiolah Yati dan Nabiolah Kedemat yang tidak kita temui dalam literatur Islam yang berasal dari Timur Tengah.
Kematian
Tujuan upacara pembakaran mayat di Bali dipandang dari sosial religius adalah untuk tatacara agama dan menjaga roh leluhur, menolak bencana dan menghormati roh leluhur, prosesi kematian dan menghormati roh leluhur, melestarikan adat dan penghematan tempat, menghormati arwah dan menjaga martabat keluarga.
WARIS
Pada umumnya Bali tidak menghendaki terjadinya putus perkawinan karena kematian, apalagi karena perceraian, oleh karena putusnya perkawinan itu berakibat keluarnya seseorang dari kedudukannya sebagai karma adapt banjar. Kemudian putusnya perkawinan akan berakibat terpisahnya kembali kedudukan harta perkawinan yang telah menjadi harta milik bersama suami-istri, yang terdiri dari harta bawaan masing-masing terutama bawaan istri (harta tetatadan), harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan (guna kaya) dan juga menyangkut harta pustaka turun temurun. Pada dasarnya jika terjadi putus perkawinan , maka harta guna kaya dapat dibagi berimbang antara suami dan istri, harta tetatadan kembali keasal masing-masing dan harta pusaka tetap dibawah kekuasaan keluarga pihak suami. Pengertian dibagi berimbang mengenai guna kaya dapat berlaku dibagi sama atau bagian suami lebih banyak dari bagian istri, karena aktifitas suami dalam mengumpulkan harta itu lebih besar, sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga saja.
Apabila putus perkawinan karena istri wafat lbihdulu maka semua harta perkawinan dikuasai dan dimiliki oleh suami sepenuhnya. Jadi suami adalah waris dari harta guna kaya istri yang wafat, dan keluarga orang tua istri tidak berhak menuntut bagian dari harta tersebut, oleh karena ketika perkawinan dilaksanakan istri telah melepas kan keanggotaannya dari kerabat orang tuanya dan masuk dalam kekerabatan suaminya.tetapi jika suami yang wafat lebih dulu dari istri, maka istri inginkembali pada keluarga orang tuanya ia berhak atas sebagian harta guna kaya yang diperuntukkan baginya. Jadi janda bukan waris dari suaminya, apalagi jika janda itu tidak mempunyai anak dengan almarhum suaminya, kemudian melakukan hubungan diluar kawin dengan lelaki lain hingga mempunyai anak, maka janda tidak berhak menguasai harta peninggalan suaminya (putusan M.A.1/12-1976 NO.588 K/Sip/1974)
Apabila janda mempunyai anak dalam perkawinan nya dengan almarhum suaminya , maka semua harta peninggalan suami adalah warisan bagi anak-anaknya yang selama janda itu berada dipihak suami dan anak-anaknya, maka ia berhak untuk menguasai harta peninggalan itu untuk kepentingan hidupnya dan anak-anaknya, tetapi apabila ia kembali ketempat keluarga asalnya maka ia hanya berhak atas harta tetatadan yang dibawanya ketika perkawinan dan sebagian guna kaya yang diperuntukkan baginya, dalam hal ini anak-anaknya tidak boleh menggugat, apalagi terhadap harta tetatadan, oleh karena fungsi harta bawaan itu baginya bersifat magis religius untuk digunakan dalam pengabenan apabila ia wafat.
Pemerintahan
Propinsi Bali terdiri dari 8 Kabupaten (Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem, Buleleng) ditambah satu kota madya yaitu Denpasar, 51 kecamatan, 658 desa, 3.568 banjar dinas. Propinsi Bali dipimpin oleh seorang Gubernur sedangkan kabupaten dipimpin oleh seorang Bupati dan kota madya dipimpin oleh seorang walikota. Menurut data statistik tahun 1997, di Bali terdapat 644 LKMD sedangkan di bidang pertahanan dan keamanan jumlah personil Hansip 37.236.
Dari segi pemerintahan desa (perbekelan) sistem pemerintahan adat banjar ini seringkali menimbulkan kelemahan, dikarenakan aktivitasnya yang lebih banyak dipengaruhi unsur-unsur kekerabatan, kasta atau kelas masyarakat atau juga karena tingkaat pendidikan dan pengauh orrganisasi dari luar. Antara lain ialah banjar dijadikan tempat arena persaingan dan perebutan pengaruh, kekuasaan dan kekayaan diantara sesame mereka, sehingga adakalanya kurang memperhatikan pada pemerintahan atasan seperti pernah nampak di desa Tihingan dimasa orde lama. Dalam Banjar yang masyarakatny terdiri dsari berbagai golongan jaba, maka lebih nampak terjadinya persaingan diantara orang jaba dari padsa antara orang jaba dengan triwangsa.
Selain kesatuan warga adat Banjar (karma banjar) yang merupakan kesatuan warga tanah kering. Dipimpin oleh tua-tua adapt Banjar (klian Banjar) yang terdiri dari 5 orang yang dipilih oleh warga banjar untuk masa jabatan adapt selama 5 tahun. Setelah 5 ntsahun para klian banjar digantikan oleh anggota yang lain atas dasar pemilihan dalam masyarakat banjar dengan berpedoman pada turan tertulis (awig-awig) banjar yang tertulis didaun lontar. Kerepatan adat banjar berfungsi dan berperanan sebagai tempat membicarakan masalah hokum adat, harta kekayaan hak milik (kecuali sawah), transaksi harta kekayaan, perkawinan dan perceraian, penyelesaian perselisihan, pelaksanaan sumpah, denda, hukuman badan atau pengusiran dari kewargaan adat banjar dan yang penting adalah membicarakan masalah pembangunan banjar dengan banjar-banjar yang lain.
Kekuasaan banjar meliputi tugas mengurus upacara-upacara adat, upacara-upacara umum, pekerjaan umum dan ketertiban dan keamanan umum, dimana setiap warga banjar merasa berkewajiban untuk melakukan jam malam daqn wajib bertindaqk mengatasi bahaya kebakaran dan gangguan keamanan lainnya. Sehubungan dengan itu banjar sebagai kesatuan bertanggung jawab merawat, memperbaiki pure-pure tempat pemujaan cakal bakal desa, orang-orang yang sudah mati, dan tempat upacara yang dilakukan dalam setiap 210 hari. Begitu pula pengurusan terhadap bangunan-bangunan tempat penyimpanan patung-patung dewa, kuburan, tempat berdagang dipasar, sekolah-sekolah desa, jala desa dan sebagainya. Untuk pengurusan tersebut banjar berusaha menghimpun dana (kas banjar) yang didapat dari hasil gotong royong warga dan kegiatan usaha banjar dalam bidang kesenian dan lain sebagainya.
Masyarakat Bali juga termasuk dalam kesatuan-kesatuan warga adat subak (krama subak) yaitu kesatuan warga tanah basah. Klian subak dipilih oleh para karma subak selaku pemilik sawah tanpa dibedaskan banyak sedikitnya tanah yang dimilikinya . kegiatan subak cenderung pada kepentingan social ekonomi para anggotanya. Klian subak dibantu oleh beberapa klian tempek sebagai petuga sadministrasi yang kedudukannya juga berdasarkan pemilihan warga subak.dibawah para klian tempek terdapat banyak pekaseh atau seka yeh yaitu para anggota kelompok pengairan yang bertugas mengatur pembagian air, memelihara dan memperbaiki saluran-saluran air dan menjaga keamanan persawahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar